BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai
perairan laut yang lebih luas dari pada daratan. Oleh karena itu
Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya
akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta
keragaman jasad–jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika
kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988).
Pada
tahun belakangan ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat
dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan
pentingnya lautan. Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber
daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan
energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.
Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia
dalam pemenuhan kebutuhan di masa mendatang.
Salah satu sumber daya
laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana
secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah
pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di
seluruh dunia dan merupakan habitat serta sumber makanan penting bagi
banyak organisme.
Lamun merupakan bagian dari beberapa ekosistem
dari wilayah pesisir dan lautan perlu dilestarikan karena memberikan
kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada sektor lainya
seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian khusus
seperti halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk
mempertahankan kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu.
Mengingat
pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya
tekanan ganguan baik oleh aktivitas manusia maupun akibat alami, maka
perlu diupayakan pengelolaan ekosistem padang lamun yang baik di
Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara.
Melalui makalah ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang ekosistem padang lamun
serta permasalahan yang terjadi di dalamnya.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Memberikan gambaran tentang definisi, fungsi, jenis, potensi dan zonasi padang lamun.
2.
Menjelaskan permasalahan yang terjadi pada ekosistem padang lamun
khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara serta pedoman pengelolaan padang
lamun.
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah:
1. Mahasiswa dapat memahami fungsi ekosistem padang lamun.
2.
Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan dan pengelolaan ekosistem
padang lamun dan contoh pengelolaan ekosistem padang lamun yang baik.
C. Ruang Lingkup
Makalah
ini berisikan tentang definisi, fungsi, jenis, potensi dan zonasi lamun
serta permasalahan dan pedoman pengelolaan ekosistem padang lamun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Lamun
didefinisikan sebagai tumbuhan berbunga (angiospermae) yang mampu
beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau
hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar
sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai
tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,
berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.
Gambar 1. Morfologi lamun
Karena
pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah
padang lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup
suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih
dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem (organisasi)
ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik
disebut ekosistem padang lamun (seagrass ecosystem).
Ekosistem padang
lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan
ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun
antara lain adalah :
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir.
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung.
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan.
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif.
6. Mampu hidup di media air asin.
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
B. Fungsi
Ekosistem
padang lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling
produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting
dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal,
menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan
perairan laut dangkal sebagai berikut:
1. Fungsi ekologi
a. Sebagai produsen primer
Lamun
mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan
dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem
terumbu karang (Thayer et al. 1975).
b. Sebagai habitat biota
Lamun
memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai organisme
epifit. Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai
daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan
herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres,
1977).
c. Sebagai penangkap sedimen
Daun lamun yang lebat akan
memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan
di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun
dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan
menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai
penangkap sedimen dapat mencegah erosi ( Gingsburg & Lowestan 1958).
d. Penyaring limbah
Lamun dapat mengakumulasi limbah yang masuk ke perairan.
2. Fungsi ekonomi
a. Digunakan untuk kompos dan pupuk,
b. Cerutu dan mainan anak-anak,
c. Dianyam menjadi keranjang,
d. Tumpukan untuk pematang,
e. Mengisi kasur,
f. Beberapa jenis lamun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti samo-samo (Enhalus acroides),
g. Dibuat jaring ikan,
h. Bahan untuk pabrik kertas,
i. Obat-obatan,
j. Wisata bahari,
k. Areal marikultur (ikan, teripang, kerang tiram dan rumput laut),
l. Tempat pemancingan.
C. Jenis dan Potensi
Lamun
dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Lebih dari 52
jenis lamun yang telah ditemukan. Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di
perairan Asia Tenggara, 12 di antaranya dijumpai di Indonesia. Dari
beberapa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum mempunyai sebaran yang
terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer,
Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila
decipiens baru ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun
Aru (Den Hartog, 1970; Azkab, 1999; Bengen 2001). Penyebaran padang
lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan
Nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara, dan Irian Jaya. Dari seluruh jenis, Thalassia hemprichii
merupakan yang paling dominan di Indonesia.
Gambar 2. Peta sebaran lamun di Indonesia (Sumber: KLH, 2008; Dipetakan kembali dari Peta Sebaran Terumbu Karang Coremap 2006)
Dari
hasil penelitian P20 LIPI pada tahun 2007, sebaran lamun di Indonesia
berdasarkan spesies dapat dilihat pada gambar-gambar berikut ini:
Gambar 3. Sebaran Ekosistem Lamun di Indonesia (Sumber: Tri Edi, P2O LIPI, 2007)
D. Zonasi
Zonasi lamun secara vertikal sebagai berikut:
1.
Zona intertidal, dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh
Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia.
2. Zona intertidal bawah, didominasi oleh Thalassodendron ciliatum.
Komunitas
lamun biasanya ada dalam area yang luas dan rapat. Secara umum
komunitas lamun dibagi menjadi 3 asosiasi spesies sehingga membentuk
suatu zonasi lamun (Brouns dan Heijs, 1991), yaitu:
1. Padang lamun monospesifik (monospesifik seagrass beds)
Hanya
terdiri dari 1 spesies saja. Akan tetapi keberadaannya hanya bersifat
temporal dan biasanya terjadi pada phase pertengahan sebelum menjadi
komunitas yang stabil (padang lamun campuran).
2. Asosiasi 2 atau 3 spesies
Ini
merupakan komunitas lamun yang terdiri dari 2 sampai 3 spesies saja.
Dan lebih sering dijumpai dibandingkan padang lamun monospesifik.
3. Padang lamun campuran (mixed seagrass beds)
Padang
lamun campuran umumnya terdiri dari sedikitnya 4 dari 7 spesies
berikut: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,
Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan
Thalassia hemprichii. Tetapi padang lamun campuran ini, dalam kerangka
struktur komunitasnya, selalu terdapat asosiasi spesies Enhalus
acoroides dengan Thalassia hemprichii (sebagai spesies lamun yang
dominan), dengan kemelimpahan lebih dibanding spesies lamun yang lain
E. Permasalahan yang Terjadi di Ekosistem Padang Lamun
Ekosistem
lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara alami
maupun oleh aktivitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas
sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat
dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang
meyediakan lebih dari 60% protein hewani yang dibutuhkan dalam menu
makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun
untuk produktivitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang
lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol
(Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun
berupa interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan),
pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata
pemangsa lamun seperti dugong. Di antara hewan invertebrata, bulu babi
adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya
setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan
terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun.
Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat
yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup
(Sangaji, 1994).
Di kawasan pantai, manusia melakukan pengerukan dan
pengurugan demi pembangunan pemukiman pantai, indusri, dan saluran
navigasi. Hal ini mengakibatkan padang lamun rusak total. Di samping
itu, terdapat dampak sekunder pada perairan laut yaitu meningkatnya
kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan air oleh lumpur dan tanah
hasil pengerukan. Hewan-hewan air tersiksa dan akhirnya mati. Ancaman
juga datang dari pencemaran limbah industri, terutama logam berat dan
senyawa organoklorin. Dua jenis bahan berbahaya ini mengakibatkan
terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat padang lamun
melalui proses yang disebut magnifikasi biologis. Persis seperti proses
penumpukan kandungan merkuri yang menimpa kerang-kerangan di Teluk
Jakarta.
Selain itu, kebiasaan manusia yang membuang sampah
sembarangan ke laut mengakibatkan turunnya kandungan oksigen terlarut di
kawasan padang lamun, serta dapat menimbulkan eutrofikasi (peningkatan
kesuburan plankton). Hal ini bisa memancing meledaknya pertumbuhan
perifiton, sejenis organisme yang hidup menempel di organisme lain.
Perifiton yang banyak menempel membuat daun lamun kesulitan menyerap
sinar matahari untuk proses fotosintesisnya. Kejadian serupa terjadi
jika terjadi pencemaran minyak yang melapisi permukaan daun lamun.
Ada
pula pencemaran limbah pertanian, terutama pestisida yang mematikan
hewan-hewan di padang lamun. Pupuk yang masuk ke perairan laut di mana
padang lamun terbentang juga memancing timbulnya eutrofikasi.
Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:
1.
Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam
jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik.
3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.
4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.
Permasalahan
utama yang mempengaruhi ekosistem padang lamun di seluruh dunia adalah
akibat pengerukan dan penimbunan yang terus meluas dan pencemaran air
termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan
fasilitas-fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar
fasilitas industri serta limbah air panas dari pembangkit tenaga
listrik. Kehilangan padang lamun diindikasikan oleh hilangnya biota
laut terutama akibat hilangnya habitat. Di berbagai daerah, hilangnya
komunitas padang lamun ini hanya dicatat oleh nelayan setempat karena
tidak seperti mangrove dan terumbu karang, komunitas padang lamun tidak
tampak nyata.
Banyak kegiatan atau proses dari alam maupun aktivitas
manusia yang mengancam kelangsungan hidup ekosistem lamun seperti
berikut:
Tabel 1. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem padang lamun (Bengen, 2001)
Kegiatan Dampak Potensial
1.
Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan areal
estate pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi.
2. Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa organolokrin.
3. Pembuangan sampah organik
4. Pencemaran limbah pertanian
5. Pencemaran minyak - Perusakan total padang lamun.
- Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan.
- Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insan hewan air.
- Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification.
- Penurunan kandungan oksigen terlarut, mengganggu lamun dan hewan air.
-
Dapat tmerjadi eutrofikasi yang engakibatkan blooming perifiton yang
menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat
menghalangi cahaya matahari.
- Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun.
- Pencemar pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi.
- Lapisamn minyak pada daun lamun dapat menghalangi proses fotosintesis
Salah
satu contoh kasus kerusakan ekosistem padang lamun yang terjadi di
Sulawesi Tenggara adalah di Pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Gambar 4. Peta lokasi Pulau Bungkutoko
Kerusakan
ekosistem padang lamun di daerah ini terjadi akibat adanya penimbunan
untuk pembangunan dermaga multipurpose pelabuhan Kendari seperti yang
terlihat pada gambar-gambar berikut ini:
Gambar 5. Proses pembangunan dermaga
Gambar 6. Dampak akibat pembangunan dermaga
Menurut
Fortes (1989) rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan
yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5-15 tahun dan biaya yang
dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah
tropis berkisar 22800-684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas
pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat meminimalkan dampak
negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait,
yaitu aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Fauzi
(2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akivitas
masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun
dapat digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal
dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah
dijadikam istrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan
akibat aktivitas pembangunan, di samping itu metode evaluasi ekonomi
dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi
dari sumber daya alam.
Padang lamun mungkin kurang populer
dibandingkan dengan jenis ekosistem laut lainnya. Tetapi dengan
mengetahui peran dan kegunaannya bagi alam dan manusia, kita bisa
memahami betapa mengerikannya jika padang lamun dirusak dan berkurang
habitat hidupnya.
F. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun
Untuk
mengatasi masalah-masalah perusakan dan untuk menjaga serta melindungi
sumberdaya alam dan ekosistem padang lamun secara berkelanjutan,
diperlukan suatu pengelolaan yang tepat. Beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah: (1) penyuluhan
akan pentingnya peranan ekosistem padang lamun di lingkungan pesisir,
(2) menyadarkan masyarakat agar mengambil peran yang lebih besar dalam
menjaga dan mengelola sumberdaya padang lamun, (3) pengaturan penggunaan
alat tangkap yang sudah terbukti merusak lingkungan ekosistem padang
lamun seperti potasium sianida, sabit dan gareng diganti dengan alat
tangkap yang tidak merusak lingkungan (ramah lingkungan) seperti
pancing, dan (4) perlunya pembuatan tempat penampungan limbah dan sampah
organik.
Pedoman pengelolaan padang lamun:
1. Pengerukan dan
penimbunan seharusnya menghindari lokasi yang didominasi oleh padang
lamun, sebaiknya dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan pada
lokasi padang lamun. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti memasang penghalang Lumpur atau dengan strategi pengerukan yang
menjamin adanya mekanisme yang membuat sirkulasi air dan pasang surut
dapat membewa endapan untuk menjauhi daerah padang lamun.
2. Usulan
pembangunan di wilayah pesisir (seperti pelabuhan, dermaga/jetty) yang
mengubah pola sirkulasi air seharusnya didesain untuk menghindari dan
meminimalkan erosi atau penimbunan di daerah sekitar padang lamun.
Struktur desain seharusnya didasarkan pada keadaan lokal yang spesifik.
3. Prosedur pembuangan limbah cair seharusnya diperbaharui dan
dimodifikasi sesuai kebutuhan untuk mencegah limbah yang merusak masuk
ke dalam padang lamun. Limbah tersebut seperti limbah industri, limbah
air panas, limbah garam, air buangan kapal dan limpasan air. Pada
umumnya solusi alternatif tersebut diantaranya termasuk pemilihan lokasi
yang berbeda untuk lokasi pembuangan seperti pemilihan lokasi pipa
pembuangn.
4. Penangkapan ikan dengan “trawl” dan kegiatan
penangkapan lainnya yang merusak seharusnya dimodifikasi untuk
meminimalkan pengaruh buruk terhadap padang lamun selama operasi
penangkapan.
5. Skema-skema pengalihan aliran air yang dapat
merubah tingkat salinitas alamiah harus dipertimbangkan akibat terhadap
komunitas padang lamun dan biota-biota yang berasosiasi dengannya.
Pengaturan yang tepat terhadap jadwal pelepasan air dapat menjaga
tingkat salinitas dalam kisaran yang diinginkan.
6. Lakukan
tindakan untuk mencegah tumpahan minyak untuk mencemari komunitas padang
lamun. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pengukuran, program
monitoring dan rencana untuk menanggulangi kemungkinan terjadi tumpahan
minyak.
7. Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumberdaya
padang lamun sebelum berbagai jenis proyek dan aktivitas dilakukan di
lokasi tersebut.
8. Rekonstruksi padang lamun di perairan dekat
tempat yang sebelumnya ada padang lamun, atau membangun padang lamun
baru di lokasi yang ada padang lamunnya untuk mengganti lamun alami di
suatu tempat.
Pengelolaan ekosistem padang lamun di kawasan
pesisir merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar dapat
meminimalkan dampak negatif terhadap kerusakan sumberdaya ekosistem
padang lamun sehingga kemampuan daya dukung lingkungan (environmental
carrying capacity) ekosistem padang lamun di kawasan pesisir tetap
lestari. Dengan memperhatikan hal-hal di atas jelas diperlukan usaha
peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan pemanfaat
ekosistem padang lamun. Hal serupa tidak kalah pentingnya dilakukan
terhadap para pengambil keputusan.
Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam
perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang
berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu
diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi
akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu
sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam
pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam
setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan
lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Menurut
definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu
strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana
pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan
organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter,
1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base
management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang,
tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan,
keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah
co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan
untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis
masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan
untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola
sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah
dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi
kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan
dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula
dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang
peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan
merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak
ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah
direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh
karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara
bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Pengelolaan
berbasis masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakai
di dalam program-program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu
di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang.
Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di
negara-negara Filipina dan Pasifik Selatan (Tulungen, 2001). Di
negara-negara dimana sistem pemerintahannya desentralisasi dan otonomi
daerah, pendekatan berbasis masyarakat ini dapat merupakan pendekatan
yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka panjang dapat
terbukti lebih efisien dan efektif dalam segala hal.
Konsep
pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan
masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative
Management (Pomeroy dan Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative
Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan
oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang
dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini
masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan
pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di
suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari
pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan
sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara
langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada
pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa
mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam
tersebut.
Menurut Pomeroy dan Williams (1994) dan Tulungen (2001),
kunci keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat mencakup: batas-batas
wilayah yang jelas terdefinisi; kejelasan anggota; keterikatan dalam
kelompok; manfaat lebih besar dari biaya; pengelolaan sederhana;
legalisasi dari pengelolaan; kerjasama dan kepemimpinan dalam
masyarakat; desentralisasi dan pendelegasian wewenang; koordinasi antar
pemerintah dan masyarakat; pengetahuan, kemampuan dan kepedulian
masyarakat; dan fasilisator (sumberdaya manusia, paham konsep, mampu
memotivasi masyarakat, tinggal bersama, diterima oleh semua pihak).
Sementara Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting
keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: (1) konsensus yang
jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan
peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2) pemahaman yang
mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung
jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis
masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa
aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya
pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) mampu
meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan
adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5)
mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang
ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat
lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan
ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan
tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara
bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila
dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang
menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun
tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara
terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya
ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat
pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan
sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program
pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi
masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan
lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan
sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka
masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem
padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat
adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak
langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan
kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun
berbasis masyarakt dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk
mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara
terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks
pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua
komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga
tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis
masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: (1)
masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik
antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2)
masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut
(misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran
sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran).
Persoalan-persoalan tersebut dapat menurunkan sumberdaya hayati laut,
yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat pendapatan masyarakat
pesisir serta meningkatkan masalah-masalah sosial di wilayah pesisir.
Oleh karena itu, pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu
mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan dapat
memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah atau berupaya untuk
mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan
bermakna dari masyarakat wilayah pesisir (Tulungen et al., 2002; Dahuri,
2003). Hal ini tentunya sangat bergantung pada program aksi pemerintah,
kerja keras para peneliti, baik di bidang sosial, ekonomi maupun
sumberdaya, serta kesadaran dan keinginan masyarakat akan adanya
perubahan ke arah yang lebih baik.
Pengelolaan Berkelanjutan
Pengelolaan
lingkungan yang berkelanjutan memiliki dimensi ekologi, ekonomi dan
sosial. Dimensi ekologi lebih menekankan pada pentingnya upaya-upaya
untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem padang lamun sehingga
tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi. Dimensi ekonomi
menekankan bahwa pertumbuhan dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya
alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi Sosial mencakup
isu-isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan secara adil
serta penghapusan kemiskinan. Oleh karena itu tuntutan ke arah
konservasi ekosistem padang lamun semakin besar karena meningkatnya
ancaman terhadap kelestarian sumberdaya dan keanekaragaman hayatinya.
Pengembangan
persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus dikembangkan yaitu
untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada pemanfaatan
sumberdaya padang lamun yang berkelanjutan. Dalam hal ini, persepsi
sosial masyarakat yang perlu dikembangkan adalah: (1) saling menghargai
dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi
pada peningkatan kualitas hidup, (3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang
peduli terhadap lingkungan, (4) merubah watak dan sikap individu maupun
kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan kebersamaan, (6) melestarikan
nilai yang vital pada ekosistem padang lamun, (7) mengurangi kemunduran
secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem padang lamun, dan (8)
menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.
Pengelolaan
ekosistem padang lamun secara lestari dan berkelanjutan sangat penting
artinya. Ekosistem padang lamun yang sangat produktif dapat mendukung
kihidupan nelayan setempat. Jika habitat padang lamun dapat berfungsi
secara optimal, maka produksi ikan padang lamun akan dapat dipanen
secara berkesinambungan/ berkelanjutan dan memberi keuntungan secara
sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat di seluruh Indonesia untuk
masa kini dan masa yang akan datang sejalan dengan pembangunan nasional.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberlanjutan dari
pemanfaatan sumberdaya padang lamun adalah pemerataan (equeity),
sociopolytical right, pendidikan, kesehatan dan teknologi. Dalam
kondisi seperti konsep sustainability mengandung makna keterkaitan
dengan konsep daya dukung (carrying capacity) yang dapat dijadikan
ukuran tercapainya sustainability dari suatu aktivitas pembangunan.
Konsep daya dukung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) daya
dukung biofisik, merupakan ukuran maksimum populasi yang dapat survival
di bawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi, dan (2) daya dukung
sosial, merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup layak di bawah
kendali suatu sistem sosial.
Salah satu contoh pengelolaan lamun
yang baik terdapat di Kepulauan Seribu. Lamun di Taman Nasional
Kepulauan Seribu tumbuh dalam kelompok rumpun yang kecil-kecil dan
tersebar tidak merata, namun kadang juga membentuk suatu padang yang
luas dengan jenis homogen ataupun heterogen. Hal ini terkait dengan
kondisi fisik substrat dasar perairan Kepulauan Seribu yang tidak stabil
karena pengaruh arus dan gelombang. Dari 12 jenis lamun yang dapat
ditemukan di perairan Indonesia, 7 jenis di antaranya tumbuh di kawasan
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yaitu Thalassia hembrichii,
Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis. Dari 7 jenis
tersebut, Thalassia hembrichii, Cymodocea rotundata dan Halodule
uninervis merupakan jenis-jenis lamun yang dominan ditemukan di kawasan
TNKpS terutama di pulau-pulau pemukiman.
Meskipun diketahui bahwa
degradasi padang lamun cukup tinggi, tapi kegiatan penanaman dan
pemulihan padang lamun di Kepulauan Seribu belum banyak dilakukan karena
keberadaan lamun ini masih kurang bermanfaat langsung bagi masyarakat
Kepulauan Seribu. Sampai saat ini, penanaman lamun yang dilakukan di
Taman Nasional Kepulauan masih sebatas penanaman untuk penelitian dan
atraksi wisata.
Penanaman lamun dalam Kegiatan Bulan Bhakti Menanam
Mandiri TNKpS dilakukan di Pulau Pramuka dengan menggunakan metode
TERFs. Frame yang digunakan berukuran 1 m x 1m sebanyak 4 unit frame.
Jenis lamun yang ditanam adalah Thassia hembricii, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis. Dalam 1 unit frame
berisikan 25 tunas lamun per jenis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut,
berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan
tunas.
2. Ekosistem padang lamun memiliki fungsi ekologi dan ekonomi.
3.
Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun di antaranya Enhalus acoroides,
Halophila decipiens, H. minor, H. ovalis, H. spinulosa, Thalassia
hemprichii, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis,
Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum dan Ruppia maritima.
4. Zonasi lamun secara vertikal terdiri atas zona intertidal dan zona intertidal bawah.
5.
Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem padang lamun adalah
akibat pengerukan dan penimbunan yang terus meluas serta pencemaran air
6. Ada 8 pedoman pengelolan ekosistem padang lamun.
B. Saran
Pembangunan
di wilayah pesisir khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara diharapkan ke
depannya lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem padang lamun
karena fungsinya yang sangat penting pada laut dangkal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar